Business

LTF Aceh Pelopor Belajar TOEFL Gratis

Komunitas Learning TOEFL for Free (LTF) Aceh


DI sebuah cafe di bilangan Kampus Darussalam, Banda Aceh, Ayu Ulya mengamati layar monitor laptopnya. Sesekali perempuan berusia 24 tahun ini terlihat berbincang dengan seorang lelaki di depannya. Senin siang itu (18/8/2014), udara terasa gerah. Ruangan cafe riuh rendah, ramai pengunjung. Beberapa di antaranya sibuk dengan laptop yang tersambung internet gratis.

"Cafe dan warung kopi di Aceh sekarang menjadi tempat paling nyaman, karena di sini kami bisa belajar dan saling berbagi," kata Ayu mengawali pembicaraan saat ditemui Serambinews.com.

Ayu Ulya adalah alumnus UIN Ar-Raniry Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris. Pada Januari 2014, perempuan kelahiran Banda Aceh, 11 Agustus 1990 ini memprakarsai berdirinya komunitas Learning TOEFL for Free (LTF), sebuah komunitas belajar TOEFL gratis di Aceh.

Kemunculan gerakan komunitas LTF seolah menjawab keresahan banyak mahasiswa dari berbagai universitas di Banda Aceh yang tak kunjung menamatkan studi karena terkendala nilai TOEFL. Bahkan beberapa kampus seperti Unsyiah sejak 2010 mewajibkan mahasiswa melampirkan nilai TOEFL 475 sebagai syarat ikut sidang. Sementara UIN Ar Raniry menetapkan nilai TOEFL 485 untuk Jurusan Bahasa Inggris sebagai syarat mengikuti sidang.

Selain mendapat kesulitan tertentu, Test of English as Foreign Language (TOEFL), atau Tes Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing, di lembaga kursus tergolong berbiaya tinggi. Satu paket kursus intensif TOEFL bisa mencapai Rp 500 ribu sampai jutaan. Tidak semua mahasiswa dari kalangan ekonomi terbatas mampu menjangkaunya.

Kondisi ini membuat banyak mahasiswa tingkat akhir frustasi dan mengeluh, termasuk teman-teman sekampus Ayu di MIPA Matematika, Unsyiah. Lebih memiriskan, permintaan nilai TOEFL terus meningkat dari waktu ke waktu. Namun tidak diimbangi dengan pelatihan ataupun fasilitas memadai dari pihak universitas untuk membantu mahasiswa.

Berawal dari rasa empati kepada teman-temannya, Ayu terpanggil untuk berbuat sesuatu. Ia pun kemudian berinisiatif membuka kelas TOEFL gratis untuk membantu mereka. Mulanya hanya menerima 10 peserta. Namun ada teman-teman lain yang protes karena terlalu sedikit.

"Saya resah sampai tidak bisa tidur memikirkan nasib teman-teman saya ketika itu yang begitu banyak membutuhkan bantuan untuk diajarkan TOEFL. Saya mulai berpikir tidak mungkin bergerak sendiri," ujar lulusan Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris 2012 ini.

Ayu mulai menggagas ide membentuk gerakan komunitas LTF pada 13 Januari 2014 melalui media sosial facebook. Gagasan itu ternyata mendapat beragam komentar positif dari pengguna facebook.

"Saya merasa kasihan karena ada teman-teman yang sudah menyelesaikan tugas akhir, tapi tidak bisa naik sidang karena skor TOEFL tidak cukup. Akhirnya mereka tidak bisa diwisuda," ujarnya.

Sejak saat itu Ayu makin intens berdiskusi merangkul teman-temannya dari berbagai universitas di Banda Aceh yang memiliki keilmuan seputar TOEFL. Mereka merupakan anak-anak muda yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan yang kemudian menjadi sukarelawan di komunitas belajar TOEFL gratis ini. Ada yang berperan sebagai fasilitator (pengajar), pengelola website dan IT sampai penyedia bahan ajar (modul).

Menurut Ayu sehebat apapun sebuah ide yang dihasilkan seseorang, tidak ada artinya jika tak mampu menemukan anak-anak muda hebat lainnya yang mau bergerak bersama mempositifkan Aceh dengan pendidikan lebih baik di bidang Bahasa Inggris, khususnya TOEFL.

"Semua teman-teman berkerja sukarela dan saling mendukung dengan keahlian mereka masing-masing," ujarnya.

Pada 15 Januari 2014 gerakan Komunitas LTF Aceh resmi terbentuk dengan mengusung slogan 'We Share Coz We Care' (Kami Berbagai Karena Kami Peduli). Bersamaan dengan itu LTF juga meluncurkan fans page di media sosial facebook.
                               
                                        Berbasis dunia maya
Saat ini LTF Aceh memiliki 140 anggota aktif terdiri atas 47 fasilitator dan 93 anggota. Sebagian besar 'kalender akademik' di komunitas LTF dilakukan di dunia maya dengan sistem online. LTF juga menyediakan website (www.ltf-aceh.org) untuk anggota baru yang ingin bergabung maupun yang mengikuti kelas listening, reading dan writting. Semua anggota bebas menentukan kelas mana yang mereka ikuti sesuai kebutuhan.

"Para anggota mengisi sejenis kartu recana studi (KRS) online dimana mereka bisa memilih kelas, fasilitator, hari dan jam belajar sesuai dengan waktu yang mereka miliki," ujar Ayu yang juga tengah menyelesaikan kuliah di Fakultas MIPA Jurusan Matematika (Computer Science) Unsyiah.

Sistem belajarnya pun cukup fleksibel. Peserta belajar seminggu sekali dalam durasi 90-120 menit per pertemuan. Setiap fasilitator bebas memilih tempat belajar.

"Ada yang belajar di kelas-kelas kosong kampus, mushala, taman, masjid, perkarangan aula, warung kopi bahkan ada yang belajar di rumah fasilitator," kata perempuan berprofesi sebagai penerjemah ini.

Karena belajar TOEFL tidak sama dengan belajar Bahasa Inggris pada umumnya, maka LTF membatasi anggota per kelas enam orang. Untuk diskusi umum dan pertemuan harian, seluruh anggota komunitas LTF memanfaatkan jejaring sosial dan grup, terutama facebook dan telepon.

Untuk pertemuan rutin (tatap muka) dengan fasilitator, biasanya dilakukan di warung kopi untuk mendiskusikan kendala yang dihadapi peserta kelas.

"Hingga saat ini, komunitas LTF belum mempunyai markas khusus. Selain keterbatasan dana, kami rasa markas bukan kebutuhan mendesak untuk saat ini. Warung-warung kopi di Aceh cukup banyak dan nyaman untuk dijadikan tempat berdiskusi dan berkumpul," ujar Sayed Rizky Yusriansyah, salah satu fasilitator LTF Aceh.

Sayed menuturkan selain untuk ikut sidang S1, ada anggota LTF yang termotivasi ikut kelas TOEFL untuk melanjutkan kuliah keluar negeri.

"Hanya saja LTF tidak menjamin kalau mereka yang menjadi anggota bisa langsung dapat nilai TOEFL bagus. Kami hanya membagi pengalaman, tips praktis, strategi berdasarkan pedoman dari buku. Selebihnya adalah keyakinan anggota sendiri untuk terus belajar," ujar Alumnus Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Sayed menjelaskan kebanyakan fasilitator yang direkrut dalam komunitas LTF adalah mereka yang memiliki nilai TOEFL 500 lebih.
                                 
                                                Tak menyangka
Kehadiran komunitas LTF menjadi motivasi bagi mahasiswa semester akhir di sejumlah Perguruan Tinggi di Banda Aceh yang bermasalah dengan nilai TOEFL. Fauza Aulia Rahmi salah satu di antaranya. Mahasiswi semester VIII Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris UIN Ar-Raniry ini seolah tak percaya dengan nilai TOEFL yang diraihnya setelah bergabung dalam komunitas LTF.

Rahmi mampu memenuhi nilai TOEFL 485 sebagai syarat ikut sidang di UIN Ar Raniry. Pada 28 Agustus mendatang, ia pun bakal menyandang pakaian toga dalam sidang terbuka wisuda mahasiswa UIN Ar Raniry. Sebelumnya, Ia telah berulang kali mengikuti tes TOEFL.

"Sepuluh kali tes, nilai TOEFL saya nggak improve (meningkat). Selalu berada di angka 300 sampai 400," ujarnya. Rahmi sempat khawatir. Namun akhirnya ia mengikut program kelas TOEFL di komunitas LTF.

"Saya mendaftar lewat facebook, dan ikut program. Akhirnya saya bisa mendapat nilai 490, dan bisa ikut sidang," cerita Rahmi yang mengambil kelas listening. Ia mengakui keberadaan komunitas LTF dirasakan sangat membantu mahasiswa yang bermasalah dengan nilai TOEFL.

"Komunitas di Banda Aceh yang bersifat sosial banyak, tapi yang khusus untuk TOEFL baru ada di LTF," ujarnya.

Cerita sukses lainnya juga dirasakan Riska Muliana. Mahasiswi MIPA Matematika Unsyiah semester VII ini menuturkan sistem belajar fleksibel dan interaktif menjadi daya tariknya bergabung di komunitas LTF. Ia mendapat banyak pengetahun praktis seputar TOEFL dari kelas yang diikutinya. Kini, Riska telah mengantongi nilai TOEFL 475, cukup untuk memenuhi syarat ikut sidang.

Rektor Unsyiah, Prof Dr Samsul Rizal M Eng mengatakan sejak 2010 Unsyiah telah meningkatkan nilai TOEFL dari 450 menjadi 475. Samsul berpendapat, nilai TOEFL tersebut merupakan tuntutan di tengah era globalisasi.

"Sekarang banyak buku teks, jurnal dalam Bahasa Inggris, bagaimana mahasiswa bisa mengerti kalau tidak punya kemampuan Bahasa Inggris. Kita ingin lulusan Unsyiah bisa bersaing di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks," ujarnya.

Kenyataan itu pula diakui Kepala Dinas Pendidikan Aceh Anas M Adam. Menurutnya kebutuhan Bahasa Inggris saat ini suatu kewajiban yang tak terbantahkan lagi.

"Sekarang masalah yang kita hadapi, ada pada kompetensi guru Bahasa Inggris. Kemampuan para guru ini harus terus ditingkatkan. Kita mendorong komunitas seperti LTF juga bisa ikut berkontribusi membantu pemerintah," ujarnya kepada Serambinews.com, Rabu (20/8/2014).

Kehadiran komunitas LTF, sebagai pelopor belajar TOEFL gratis di Banda Aceh, setidaknya dapat menjembatani mahasiswa meraih mimpinya menjadi sarjana yang siap bersaing di dunia global.

"Masih sangat banyak orang-orang di sekitar kita yang memerlukan dukungan dan bantuan. Maka selayaknya kita harus berbagi dengan yang lain, karena itu adalah wujud sebuah kebahagian untuk diri kita juga," ujar Ayu Ulya. (ansari hasyim)

0 Komentar